Akhir bulan april kemarIn dunia pendidikan kita mendapatkan
cobaan yang besar. Untuk pertama kalinya Ujian Nasional (UN) dilaksanakan todak
serentak di Indonesia. Ada sembilan daerah yang harus mengundur jadwal UN mulai
hari selasa. Pegunduran ini disebabkan oleh percetakan soal ujian yang belum
selesai.
Keterlambatan UN tahun 2013 menjadi klimaks dari pihak yang
kontra dengan UN untuk segera menghapuskan UN dari sistem pendidikan Indonesia.
Memang, sejak diluncurkan pada tahun 2002, UN telah menimbulkan pro-kontra di
masayarakat. Semakin lama pro-kontra ini semakin membesar tetapi rupanya
pemerintah masih punya pegangan yang kuat hingga belum menghapuskannya sampai
sekarang.
Pihak pro yang diwakili oleh pemerintah dan didukung oleh
sebagian kecil masyarakat beranggapan UN dapat menjadi standart kelulusan bagi
siswa di Indonesia sehingga lulusan di Indonesia mempunyai kualitas yang baik
dan merata. Dengan UN diharapkan sisa yang lulus dari sekolah sudah mempunyai
pengetahuan yang sudah sepatutnya dimiliki, dan untuk menguji hal ini
diperlukan sebuah ujian yang bertaraf internasional.
Pihak kontra yang diwakili oleh sebagian masyarakat
menganggap UN hanya sebuah bentuk kemubadziran. UN menghabiskan anggaran yang
tidak sedikit dan hasilnyapun belum maksimal. Momentum UN hampir selalu
menyuguhkan kebocoran soal dan kunci jawaban. Perbedaan karakteristik antar
daerah diIndonesia dijadikan sebagai dasar tidak cocoknya sebuah standart.
Perbedaan itu tidak harusnya disamakan. UN sebagai dasar kelulusan juga menjadi
kabur ketika siswa hendak masuk perguruan tinggi harus mengikuti ujian lagi
yang berstandart nasional yaitu SNMPTN.
Terlepas sari pro dan kontra tersebut, saya mungkin satu dari sedikit siswa (kala
itu) yang menyetujui adanya UN. Alasan saya simpel, kita perlu sebuah standart
untuk mengetahui bahwa kita sudah layak lulus dari sebuah lembaga pendidikan
berupa sekolah. Perbedaan karakteristik daerah di indonesia justru menjadi
dasar sebuah alasan bahka kita memang butuh sebuah standart agar antara satu
daerah dengan daerah lainnya mempunyai tingkat kompetensi kelulusan yang sama.
Banyak orang berpendapat bahwa UN menegasikan proses belajar
selama tiga tahun. Saya rasa tidak, saya merasa UN justru menjadi sebuah
cerminan proses belajar kita selama tiga tahun. Apalagi pemerintah juga sudah menyetujui
kelulusan di ambil dari 40% UN dan 60% nilai raport.
Alangkah lebih baik lagi jika ada dua macam kelulusan.
Pertama adalah UN, UN dijadikan sebagai patokan kelulusan seorang siswa dalam
menguasai kompetensi minimal yang berlaku secara nasional. Ini artinya
kompetensi ini sudah teruji dan bisa diakui diseluruh Indonesia. Jadi, dengan
UN-lah kompetensi lulusan di jawa dan diluar jawa dapat disetarakan. Kompetensi
minimal yang dimiliki oleh siswa lululsan SMA di Aceh dengan seorang siswa
lulusan SMA di Papua juga setara. Dengan dihapuskannya UN akan menimbulkan
kesenjangan pendidikan antar daerah bahkan antar sekolah.
Memang, UN yang kita laksanakan sekarang belum sempurna
apalagi pelaksanaan tahun ini diwarnai dengan keterlambatan. Kebojoran soal
ujian juga masih selalu terjadi setiap tahun. Tapi hal ini tidak sepantasnya
dijadikan sebagai alasan untuk menghapusnya. UN masih bisa diperbaiki sistemnya
dengan perencanaan yang matang. Jika ada kemauan dari pemerintah dalam hal ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disertai dengan dukungan semua kalangan
tidak mustahil kita bisa menyamai bahkan mengalahkan kualitas pendidikan negara
tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang juga melaksanakan Ujian nasional.
Kedua adalah US (Ujian Sekolah), US menjadi dasar kelulusan
seorang siswa sesuai dengan karakteristik sekolah masing-masing. US disini
tidak sama dengan UAS yang ada sekarang,. Teknik US tergantung masing-masing
sekolah, bisa menggunakan test akhir seperti UAS atau menggunakan teknik
evaluasi non-test. Dengan begitu US menjadi kewenangan sekolah yang tidak bisa
dicampuri pihak manapun. Disinilah seorang guru mempunyai peranan yang sangat
besar dala menentukan apakah siswa tersebut sudah bisa dinyatakan lulus atau tidak.
Guru yang selalu menemani siswa sehari-hari akan mengetahui penguasaan
kompetensi siswanya secara mendetail. Dalam US ini juga aspek akhlak kognitif,
afektif dan psikomotorik dapat dinilai lebih akurat karena langsung dinialai
oleh gurunya sendiri. Tentunya dengan konsep seperti ini standart antar sekolah
berbeda-beda tergantung dengan karakteristik masing-masing sekolah.
Konsep UN dan US menimbulkan pertanyaan besar. Apakah siswa
dinyatakan lulus kalau lulus kedua ujian tersebut atau hanya salah satu sudah
bisa dianggap lulus. Jawabannya adalah harus lulus keduanya. Karena dengan kedua ujian inilah pemerintah
dan sekolah (guru) mempunyai peranan yang sama-sam pemting. Lulus UN dan US
menjamin seiswa mempunyai kompetensi sesuai denga karakteristik sekolahnya juga
mempunyai kompetensi yang sudah diakui secara nasional.
Ada fakta menarik satu lagi terkait UN yaitu SNMPTN. Banya
pihak mengatakan apa gunanya UN jika kita mau masuk PT harus test lagi. Test
masuk perguruan tinggi amatlah penting tetapi Ujian masuk yang distandartkan
saya rasa kurang pas. Perguruan Tinggi merupakan sebuah institusi pendidikan
yang mempunyai ciri khas yang berbeda dengan sekolah. Jadi kurang ada urgensi
jika harus menstandartkan ujian masuk. Harus ada keleluasaan bagi perguruan tinggi
untuk menentukan kriteria bagi calon mahasiswanya. Kelulasaan ini harus diberi
mengingat karakteristik perguruan tinggi sangat beraneka ragam.
Ya, UN memang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pihak pro
dan kontra mempunyai alasan-alasan yang berdasar. Tidak sepatutnya kita terus
menerus memperdebatkan seuatu masalah karena hal ini akan menambah masalah.
Kita harus mulai untuk memikirkan solusinya bukan mengukur masalahnya.
Pendidikan kita belum terlalu terpuruk, marilah kita membuat sebuah momentum
untuk bangkit dari keterpurukan ini. Kapan momentum yang tepat? Sekarang!